Perbandingan UI/UX antara DE GNOME, Plasma, dan Pantheon pada GNU/Linux

Arman Wu
6 min readJan 21, 2021

Pada saat kita bekerja di depan komputer — desktop ataupun laptop — maka kita akan dihadapkan pada tampilan di layar kita. Kita beraktivitas dengan melihat dan mengendalikan segala hal yang tampil di layar. Bila kita menggunakan OS GNU/Linux, maka kita bisa memilih berbagai macam tampilan grafis yang sesuai dengan kebutuhan kita. Kita menyebutnya dengan Desktop Environment atau DE. Bagi yang sudah familiar dengan Linux mungkin sudah mengenal juga Window Manager atau WM, tapi kita tidak akan membahas itu saat ini.

Photo by Brooke Cagle on Unsplash

Oh ya, bagi yang belum mengenal apa itu GNU/Linux silakan membaca tulisan saya terlebih dahulu di https://armanwu.medium.com/berkenalan-dengan-gnu-linux-bea4e9a4b60a

Desktop Environment atau DE ini ada berbagai macam, namun yang hari ini akan saya bahas hanya tiga saja, yaitu GNOME, Plasma, dan Pantheon. Hal ini hanya berangkat dari rasa penasaran saya saja dan tidak ada alasan khusus mengapa saya memilih 3 DE itu untuk dibandingkan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memperdebatkan DE mana yang lebih baik. Ini hanyalah murni opini saya pribadi berdasarkan pengalaman saya dalam menggunakannya. Saya juga tidak akan membahas terlalu teknis terkait ketiga DE tersebut, namun saya akan memberikan ulasan dari sudut pandang pengguna awam.

Perbandingan ini saya lakukan pada perangkat yang sama, yaitu PC saya dengan spesifikasi processor Intel i7 2600, RAM 16 GB DDR3, GPU Nvidia GeForce GTX 1050 Ti, dan menggunakan penyimpanan HDD alokasi 50 GB untuk OS GNU/Linux. OS yang saya gunakan adalah Fedora 33 (Workstation Edition) 64-bit. Saya menggunakan Fedora karena kebetulan saja saat ini saya menggunakannya di PC untuk bekerja. Perlu diingat bahwa tangkapan layar yang akan ditampilkan adalah tampilan bawaan dari masing-masing DE. Setiap DE dapat dipercantik oleh penggunanya masing-masing, namun yang akan saya tampilkan di sini adalah murni bawaan.

TAMPILAN

GNOME memiliki tampilan bawaan yang menurut saya cukup menarik dan sederhana. Bila anda adalah orang yang suka dengan tampilan desktop yang bersih mungkin akan menyukai tampilan dari GNOME ini. Saya menyukai desain dari tombol close, minimize, dan maximize pada title bar. Namun bagi saya ukuran title bar-nya sendiri terlalu besar dan kurang suka dengan ujung-ujung window yang memiliki bentuk lengkung. Bagi para pengguna Windows mungkin akan kebingungan saat pertama kali menggunakan GNOME karena tidak ada start menu.

Tampilan GNOME yang memperlihatkan Terminal, File Manager, dan System Settings

Plasma memiliki tampilan bawaan yang hampir mirip dengan OS Microsoft Windows. Bagi saya yang juga adalah seorang pengguna Windows, Plasma merupakan jembatan saya untuk mengenal OS GNU/Linux. Hal ini mungkin berlaku juga bagi orang lain karena biasanya akan sangat mudah untuk beradaptasi dalam menggunakan Plasma bagi mereka yang sudah terbiasa dengan Windows. Misalnya dengan adanya panel dan start menu pada posisi yang sama dengan Windows. Saya agak kurang cocok dengan tampilan bawaan Plasma, biasanya saya akan memodifikasi tampilannya sebelum siap digunakan. Untungnya Plasma merupakan DE yang sangat ramah untuk dimodifikasi secara tampilan.

Tampilan Plasma yang memperlihatkan Terminal, File Manager, dan System Settings

Pantheon memiliki tampilan yang cukup mirip dengan MacOS. Mungkin bisa diilustrasikan seperti ini; bila GNOME adalah DE dengan tampilan yang berbeda dari tampilan Windows dan MacOS — bahkan lebih mirip Android, Plasma merupakan DE dengan tampilan yang mirip Windows, dan Pantheon adalah DE dengan tampilan yang mirip MacOS. Saya pribadi sangat menyukai tampilan dasar Pantheon, sangat bersih dan elegan. Setelah melakukan instalasi Pantheon, saya cenderung untuk tidak memodifikasi tampilannya karena menurut saya sudah cukup sesuai dengan preferensi saya.

Tampilan Pantheon yang memperlihatkan Terminal, File Manager, dan System Settings

BEKERJA DENGAN APLIKASI

Menjalankan aplikasi pada GNOME cukup mudah. Kita bisa mengakses via Activites di kiri atas dan klik icon show applications sehingga akan muncul tampilan berbagai aplikasi yang sudah terpasang dan siap digunakan. Tampilannya lebih mirip dengan tampilan tablet atau smartphone dengan icon cukup besar yang memenuhi layar. Bagi yang terbiasa menggunakan Windows biasanya tidak terbiasa akan hal ini. Kita juga dapat menyematkan pintasan aplikasinya pada dash di sebelah kiri layar. Bagi para pengguna yang sudah terbiasa dengan GNOME biasanya akan menggunakan shortcut untuk mempermudah.

Tampilan GNOME saat akan memilih aplikasi yang hendak dijalankan

Plasma memiliki start menu yang mirip dengan Windows — terutama Windows 7 dan sebelumnya. Kita dapat melihat aplikasi apa saja yang terpasang dengan melakukan pada klik start menu dan menggerakkan kursor ke tab Applications. Akan muncul berbagai pilihan aplikasi yang sudah dikategorikan sehingga memudahkan kita dalam mencari aplikasi yang diinginkan. Misalnya kita hendak mencari aplikasi browser, maka kita bisa mencarinya di kategori Internet.

Tampilan Plasma saat akan memilih aplikasi yang hendak dijalankan

Cara mengakses aplikasi di Pantheon merupakan gabungan dari cara di GNOME dan Plasma, yaitu dengan cara klik Applications di kiri atas sehingga memunculkan menu pilihan aplikasi yang dapat kita atur apakah tampilannya mau berdasarkan kategori seperti pada Plasma atau berupa kumpulan icon seperti pada GNOME. Di Pantheon, kita dapat menyematkan pintasan pada dock seperti pada MacOS. Fungsi ini agak mirip dengan dash pada GNOME.

Tampilan Pantheon saat akan memilih aplikasi yang hendak dijalankan

AREA KERJA

Hal yang paling saya sukai dari GNOME adalah adanya area kerja atau workspace yang sangat mudah digunakan. Ibaratnya seperti kita memiliki beberapa tempat untuk bekerja, misalnya area kerja 1 untuk mengetik dan browsing, area kerja 2 untuk chat messenger, dan area kerja 3 untuk File Explorer. Bila disatukan dalam 1 area kerja biasanya kita akan kesulitan saat melakukan multi-tasking. Fitur ini mirip dengan Virtual Desktop pada Microsoft Windows. Workspace baru pada GNOME akan muncul otomatis ketika workspace yang ada sudah terisi. Memindahkan aplikasi dari workspace yang satu ke workspace lain pun sangatlah mudah, hanya tinggal drag and drop saja. Untuk melihat workspaces yang ada cukup menekan tombol super atau meta.

Tampilan GNOME yang memperlihatkan pengaturan area kerja atau workspace

Sebenarnya Plasma menyediakan fitur seperti workspace pada GNOME, namun untuk memanfaatkannya tidak semudah pada GNOME. Pada Plasma kita menyebutnya Virtual Desktops. Kita harus menentukan terlebih dahulu jumlah area kerja yang kita inginkan, sementara pada GNOME akan muncul otomatis saat satu area kerja sudah terisi. Untuk mengatur Virtual Desktop pun harus melalui System Settings. Namun setelah kita mengaturnya dengan baik, tata cara berpindah Virtual Desktop-nya cukup mudah. Kita juga dapat memindahkan aplikasi antar Virtual Desktop dengan cara klik kanan pada aplikasinya kemudian pilih Move to Desktop.

Tampilan Plasma yang memperlihatkan pengaturan area kerja atau workspace

Pada Pantheon pun kita dapat memiliki lebih dari satu workspace. Cara yang ditawarkan terbilang cukup mudah dan mirip dengan GNOME. Namun pada Pantheon, perpindahan area kerjanya secara horizontal sementara pada GNOME secara vertical. Selain itu pada GNOME kita dapat melihat thumbnail dari tampilan utuh masing-masing workspace yang ada, sementara pada Pantheon hanya akan diperlihatkan icon dari aplikasi yang berada pada masing-masing workspace.

MEMORI YANG DIGUNAKAN

Kebutuhan spesifikasi GNOME dan Plasma tergolong cukup besar dibandingkan Pantheon — setidaknya pada OS Fedora yang saya gunakan. Memori yang digunakan biasanya sekitar 1,8 GB dalam keadaan idle pada GNOME dan Plasma, sementara pada Pantheon sekitar 1,2 GB. Sebagai catatan, angka ini tidak bisa menjadi patokan bahwa Plasma dan GNOME memakan memori sebesai itu, alasan saya menyebutkan informasi ini hanya sebagai perbandingan dari ketiga DE tersebut.

KESIMPULAN

GNOME memiliki UI/UX yang agak sulit pengguna awam dan baru, namun dapat menjadi pilihan DE yang sangat baik dalam menciptakan workflow yang efektif dalam bekerja bagi mereka yang sudah berhasil beradaptasi. GNOME ini cocok bagi mereka yang menyukai tampilan yang bersih, alur kerja yang rapi, dan mungkin bosan dengan UI/UX Windows dan MacOS.

Plasma memiliki UI/UX yang sangat mirip dengan Windows. Kelebihan Plasma adalah sangat mudah untuk dimodifikasi, terutama secara tampilan. Cocok bagi mereka yang sudah terbiasa dengan Windows dan senang untuk mengubah-ngubah tampilan.

Pantheon memiliki UI/UX yang sangat mirip dengan MacOS. Tampilan bawannya sudah terlihat sangat bersih dan elegan. Hampir mirip dengan GNOME namun tidak memakan memori sebesar GNOME. Pantheon sangat cocok bagi mereka yang sudah terbiasa dengan MacOS.

Semoga ulasan ini dapat bermanfaat. Bagi yang tertarik dengan salah satu atau ketiga DE tersebut, silakan mencoba. Terima kasih :)

--

--